A Man Called Ahok (2018)

     Bicara tentang Ahok.. Hmm.. Kalian sudah baca tentang kasus Baiq Nuril? Tentang korban pelecehan seksual yang mendapat vonis UU ITE karena tuntutan pelakunya? Nyesek ya. Rasa ketidakadilan yang sama yang aku rasakan ketika bicara tentang kasus Ahok dua tahun yang lalu. Bedanya, Baiq Nuril didukung oleh masyarakat yang mempertanyakan dimana rasa kemanusiaan pelaku hukum dan penuntutnya, sementara keadilan untuk Ahok tertutupi oleh demo berjilid-jilid hanya atas sebuah video yang sudah disunting dan akhirnya ia kalah sama nafsu-nafsu untuk meraih kekuasaan. Sudahlah.. Ayo bicarakan filmnya.

-----
(sumber: cumicumi.com)

     Film A Man Called Ahok ini diangkat ke layar kaca dari buku dengan judul yang sama dengan penulis bernama Rudi Valinka. Aku mengenal penulisnya (I mean kenal sebagai follower ye haha) karena memang sudah follow akun twitternya dari dulu, namanya @kurawa. Dia, kalau tidak salah, adalah seorang auditor. Dia sempat ‘viral’ (menurutku sih ya) ketika dia membuka kasus JIS, tentang anak sekolah yang katanya disodomi oleh cleaning services sekolahnya. Padahal kenyataan berbeda 180 derajat.. Iya, @kurawa itu sedetail itu dalam menyelidiki sesuatu. Termasuk buku AMCA ini yang dia tulis berdasarkan surveinya ke Gantung, kampung Ahok. CMIIW, awalnya dia nulis surveinya ini melalui thread twitter, tapi ngga tahu gimana ceritanya bisa akhirnya jadi buku. Dan sekarang jadi film. Wow.
     Jika penonton film ini adalah pendukung Ahok atau hanya seseorang yang mengagumi Ahok, maka scene awal pasti akan membuat mereka menitikkan air mata. Film ini diawali dengan sebuah audio, suara Ahok menghimbau warganya, yang berkumpul di depan rutan tempat beliau ditahan, untuk pulang. Aku pikir scene selanjutnya akan berupa flashback ke masa-masa ‘itu’, tapi engga. Cerita langsung masuk ke masa kecil Ahok di Gantung, Belitung Timur.
     Ahok kecil dekat dengan Kim Nam, sang ayah, sehingga ia sering menyaksikan bagaimana ayahnya berinteraksi dengan tetangga dan warga sekitar, juga dengan pejabat daerah. Oya, ayah Ahok adalah seorang pengusaha tambang timah. Banyak orang yang sering meminta bantuan dana kepada Kim Nam, dan beliau akan dengan mudah memberikannya, meskipun dengan berhutang (Melihat orang-orang yang datang ke rumah beliau jadi bikin keinget warga Jakarta yang datang tiap pagi ke kantor balaikota ngga sih? Hehe).
    Kim Nam mengajak langsung Ahok dan adiknya, Yuyu, membantu urusan bisnisnya. Beliau digambarkan sangat tegas dan menjunjung tinggi kejujuran. Ada satu scene ketika Kim Nam memecat pekerjanya karena tidak jujur dan korupsi uang proyek (Bikin flashback lagi, kan?). Tahu ngga, sikap Kim Nam ini tidak lantas membuat pekerjanya tersebut benci, tapi malu. Bahkan Kim Nam mengajaknya untuk bekerja lagi setelah mengetahui bahwa istrinya sakit dan butuh biaya pengobatan, tapi pekerjanya terlalu malu untuk kembali.
     Singkat cerita, Ahok dewasa kembali ke Gantung setelah menuntut ilmu di Jakarta. Ia kembali dengan idealisme dan teori-teorinya (typical lulusan baru hihi) yang hendak ia terapkan di bisnis ayahnya, tetapi Kim Nam menentangnya. Ahok memiliki visi untuk memajukan bisnis ayahnya dengan mengorbankan beberapa orang, tapi ayahnya lebih mengutamakan kesejahteraan semua pekerjanya. (Sedikit bikin flashback lagi, ngga sih? Tentang penggusuran..)
     Banyak dari yang sudah nonton mengatakan bahwa film ini lebih menceritakan Kim Nam daripada tentang Ahok sendiri. Judul film ini harusnya A Man Called Kim Nam, katanya. Hm.. Menurutku sih engga ya. Dengan menonton film ini kita tahu bahwa sebagian besar sifat yang dimiliki Ahok itu berasal dari didikan sang ayah, yang tegas, jujur, dermawan, dan sangat memperhatikan orang-orang miskin. Well, kita tidak tahu seberapa akurat karakter mereka digambarkan dengan keadaan sebenarnya ya, tapi semuanya make sense dengan melihat karakter Ahok yang sekarang.

-----

     Overall, good casts, good at delivering messages, good set. Not the best one, but I enjoyed it a lot. Meskipun menuju ending, film ini terkesan diburu-buru ya, karena tiba-tiba ini lalu itu, cepeeet. Aku juga bersyukur scene sedih tidak dibumbuhi scoring yang lebay huffft, karena di awal-awal film aku udah mbatin.. 'ini film bakal tearjerking abis nih'. Dan film ini diakhiri dengan scene ketika ibu Veronica mengunjungi pak Ahok (Weh, baru sadar sedari tadi nyebut Ahok aja tanpa 'pak') dengan suara ibu Vero membacakan surat pak Ahok dengan suara tercekat. Tisuuuuu..... Eh. Pasti ada orang yang membaca apa yang aku tulis lantas beranggapan ‘Ini kelihatan banget yang nulis tu Ahoker’. No, I am not calling myself an Ahoker. Hanya saja aku percaya kalau Ahok itu a decent human being, but still not a flawless one.

Comments

Post a Comment

Popular Posts