Ketika Anak Kos Sakit
WARNING, this is a veryyy long post.
Sekitar akhir
bulan Juli 2017, aku sadar ada benjolan kecil yang muncul di leherku
sebelah kanan. Apa ini ya, pikirku. Tidak sakit ketika aku pegang dan kondisi
tubuhku saat itu juga normal, aku merasa sehat dan baik – baik saja. Ketika aku
menceritakan munculnya benjolan di leherku, teman – teman kerjaku menyarankan
untuk diperiksakan ke dokter bedah. Saat itu, aku bekerja di RS swasta (masih
sampai saat ini, sih) dan aku tidak memiliki BPJS Kesehatan. Sorenya aku menemui
dokter bedah dan beliau, dengan sekali meraba benjolanku, langsung mendiagnosis
benjolan itu mungkin saja TB kelenjar, walaupun ada kemungkinan yang lain.
Untuk tahu jawabannya, benjolan tersebut harus dibiospi. Wait noo, biaya di RS ini mahal. Setelah itu barulah aku mendaftarkan
diri ke BPJS Kesehatan.
Salah satu temanku mengajakku pergi
ke suatu padepokan, bernama Ki Santri Haji Zein. Pengobatan alternatif terkenal
di daerah Jatiasih, Bekasi. Pertama aku “berobat”, beliau mengatakan bahwa
benjolanku ini timbunan lemak (bagian ini aku masih kurang paham, sih). Menurut beliau, benjolan tersebut
menyebabkan peredaran darah ke otakku tidak lancar sehingga aku sering migren.
Aku mengiyakan hal itu, walaupun sepemahamanku sebelumnya, kepalaku sering
migren akibat “trauma” atau benturan saat kecelakaan jaman SMA. Kemudian pak
Haji juga mengatakan, benjolan ini akibat aku terlalu banyak mengkonsumsi MSG.
Walaupun beliau tidak sedang bertanya, aku lagi – lagi mengiyakan. Aku
belakangan memang sering makan mi instan because
I was broke. Setelah mudik, dompetku benar – benar tipis (CRY).
Pengobatan Haji Zein ini hanya
dilakukan dengan memijat titik – titik tertentu pada tubuh. Jangan dibayangkan memijat
ini seperti mengurut ya. Haji Zein hanya “memijat”, atau mungkin lebih cocok
kalau dibilang “menekan”, dalam hitungan detik. Kelihatan sepele ya? Padahal
dengan “pegangan” beliau ini, pasien dengan kaki retak pun dapat berjalan
ketika pulang dari sini. Berbagai macam penyakit lainnya, seperti sinus, stroke, lupus, dan lain – lain, bisa
disembuhkan dengan beberapa kali pengobatan. Aku masih penasaran dulu Haji Zein
belajar ilmu “memijat” ini darimana ya.
Biaya yang dikeluarkan untuk mendaftar pengobatan ini sebesar 50.000
rupiah. Di dalam ruangannya ada juga kotak uang sukarela kalau mau membayar
lebih. Awalnya aku nggak masalah
dengan biaya tersebut, tetapi hal itu hanya bertahan sekitar sebulan haha. Biaya pendaftaran, uang sukarela,
biaya transportasi Kelapa Gading – Jatiasih – Kelapa Gading, dan biaya makan
malam dapat mencapai 150.000 rupiah. Dalam seminggu aku harus berobat dua kali.
Buat anak kos, walaupun status sudah bekerja ya, biaya segitu lumayan mencekikL.
Setelah menjalani pengobatan
alternatif tersebut, benjolanku mengecil. Saat itu sekitar bulan September, aku
mulai mengabaikan benjolan tersebut. Aku berharap benjolan itu mengecil dengan
aku yang mulai hidup sehat, tanpa mi instan, dan memasak setiap hari. “Hidup
sehat” apanya Bel, hahaha. Sekitar awal
bulan Desember, aku semakin sadar benjolan itu semakin nampak dan nggak cuma satu! Aku mulai was – was.
Saat itu badanku sering meriang atau demam nanggung (bukan panggung ya._.). Aku
sering kecapekan. Ketika aku cek berat badanku turun 4 kg. Akhirnya aku
memutuskan untuk berobat di rumah sakit. Berawal dengan mencari rujukan dari
faskes pertama, aku dirujuk ke dokter bedah umum di RSUD Koja.
Ini pengalaman pertamaku berobat
seorang diri di RS. RSUD ini dikenal ramai karena pasiennya sangat sangat
banyak. Aku terbiasa bekerja di RS swasta yang tidak begitu ramai pasien, angin AC terasa dingin, semua bagian RS wangi
termasuk toilet, dan yang aku rasakan di RSUD itu bisa jadi sebaliknya. Bukan
maksudku menghina atau sombong ya, aku
hanya membandingkan saja dan itu kenyataan. Setelah bertemu dokter bedah,
beliau menyarankan aku cek darah. Aku ambil hasilnya sehari setelahnya dan
hasilnya normal kecuali laju beku darah, yang katanya ini dikarenakan adanya
benjolan tersebut. Diagnosis pertama, benjolan tersebut adalah TB kelenjar,
sama dengan diagnosis dokter sebelumnya.
Selanjutnya aku diminta rontgen thorax dan
cek EKG atau ritme jantung, untuk persiapan biopsi. Keduanya dilakukan juga
pada hari yang berbeda. Well, mungkin
pemakai BPJS paham kalau pemeriksaan hanya dapat dilakukan satu macam dalam
sehari. Misalnya, hari ini aku diminta rontgen,
dua hari selanjutnya aku ambil hasil dan bertemu dokter bedah dan beliau
memintaku cek EKG di dokter jantung, hari selanjutnya aku baru bisa menemui
dokter jantung dan cek EKG, lalu esoknya aku baru bisa menemui dokter bedah
untuk menentukan hari H biopsi. YASSSSS
akhirnyaaa. Bolak – balik RS bikin capeeek.
Jadwalku biopsi sebulan setelah
periksa, yaitu pertengahan bulan Januari 2018. Mau mengeluh kelamaan? Engga kok, karena ada pasien yang dijadwalkan
operasi dua atau tiga bulan setelah periksa. Biopsi atau diambilnya jaringan
ini termasuk operasi kecil, jadinya jadwalku bisa didahulukan. Hari H operasi
berjalan lancar, aku “menginap” di RSUD Koja hanya tiga hari dua malam, termasuk
pre dan pasca operasi. Benjolanku yang ada beberapa ini tidak diambil semua,
alasan yang aku dengar sih “tergantung letaknya susah atau tidak untuk
diambil”. Padahal aku maunya semua jaringan asing itu diambil, ya iyalah,
secara sudah dibedah, kenapa ngga
sekalian kan.. Hasil patoanatomi dari jaringan benjolan itu baru diperoleh 2
minggu setelahnya. Hasilnya..
Jeng… jeng.. jeng.
Secara sederhana, pada jaringan
tersebut ditemukan sel – sel yang spesifik ada pada penderita TB kelenjar. TB
kelenjar ini disebabkan oleh bakteri yang sama dengan penyebab penyakit TB
lainnya, hanya saja lokasi yang diserang berbeda sehingga gejalanya pun
berbeda. Akhirnya, aku dirujuk untuk ke dokter paru – paru, iya meskipun aku
tidak sakit TB paru, tetapi resep obat anti TB hanya dikeluarkan oleh dokter
tersebut. Katanya gitu.. Dokter paru
– paru menjelaskan gejala TB, seperti berat badan turun, badan meriang, muncul
satu atau beberapa benjolan, dan itu semua aku rasakan.
Pengobatan yang aku jalani, aku harus meminum obat anti TB selama 9
bulan, setiap pagi hari sebanyak 3 biji kaplet merah. Ini akan membuat air pipis
berwarna merah hiks. Aku harus “makan berat” dua jam setelah minum obat. Kalau
tidak, lidahku akan pahit dan bakal merasa mual. Ini sudah beberapa kali aku
rasakan haha. Makananku harus tinggi
protein. Kata perawat, laukku harus macam – macam, telur, ikan, daging. Jangan
lupa minum susu. Rajin olahraga. Dilarang begadang. Aku langsung terbayang
kehidupan seorang anak kos yang jauh dari ketentuan – ketentuan itu. Yang benar
saja..
Jadi, kalau aku ditanya darimana aku memperoleh bakteri TB itu, aku jawab
tidak tahu. Akan tetapi aku secara sadar (hahaha)
mengakui kalau hidupku memang tidak sehat atau ideal. Makananku kadang tinggi
protein, kadang seadanya. Apa yang bisa diharapkan dari nasi uduk selain karbo?
haha. Minum susu, kalau bisa enggak. Olahraga, dalam setahun bisa
dihitung jari. Seandainya berjalan ke tempat kerja dianggap sebagai olahraga ya,
haha. Begadang? Kalau yang dimaksud
begadang itu tidur lewat jam 10, aku setiap hari begadang kecuali kalau ketiduran dari sore.
Selain mempengaruhi fisik, adanya penyakit ini aku rasa mempengaruhi
diriku secara mental. Sakit bagai anak rantau itu cobaan yang berat, menurutku.
Aku merasa diriku seperti anak kecil, merindukan perhatian dari orang – orang
ketika aku sakit. Apalagi ketika aku mulai meriang dan badanku pegal - pegal,
lalu penyakit homesick ku menyerang,
rasanya aku orang paling menyedihkan seantero jagad. Lebay ya, lebay banget! Aku
menertawakan diriku sendiri saat menulis ini. Memiliki jiwa yang sehat ketika
ragamu sakit itu susahnya minta ampun. Aku bisa menangisi diriku sendiri
berhari – hari, kepalaku akan migren juga berhari – hari itu. Ada lagi, muncul
isu aku bakal “diberhentikan” karena penyakitku. Penyebabnya hanya karena ada
seseorang dokter hewan yang melamar kerja di tempatku. Entahlah.. Itu isu nggak jelas sih aku tahu, walaupun aku
pasti bakal senang kembali ke Jogja, tetapi isu itu sungguh – sungguh
menyakitkan gais :” Aku sadar, sangat sadar, bahwa bersikap terlalu emosional
juga tidak baik buat fisikku. Sangat bersyukur ada orang – orang yang mau
mendengarkan keluhanku, rengekanku, seolah – olah hanya aku yang memiliki
masalah haha. Aku cuma bisa bilang
makasih.…..
Sebulan berlalu, aku mulai terbiasa minum obat setiap pagi, lidah terasa
pahit, melihat pipisku merah, melengkapi protein di makananku, lebih sering
minum susu. Olahraga, sekali dua kali lah. Begadang, sudah aku kurangi meskipun
beberapa kali masih tidur tengah malam. Terakhir aku cek berat badanku sudah
naik 3 kg, salah satu tanda obat yang aku minum berpengaruh di tubuhku. Masih
sisa 8 bulan lagi. Wish me luck!
Comments
Post a Comment