Posesif (2017)


Pertama nonton trailer film ini, aku pikir 'ah film ini pasti ftv banget'. Adipati Dolken sebagai pemeran utama juga ngga lantas bikin aku tertarik untuk nonton. Nah, terus?

Itu tuh, twit dari bapak sutradara yang bikin aku penasaran (iyaaa segampang itu aku dibikin penasaran lho). Tapi selain itu, karena film ini masuk ke banyak nominasi FFI (diliat di posternya). Yang awalnya pengen nonton Thor, pindah haluan deh nonton Posesif. Begini review film Posesif, menurutku.. (WARNING: SPOILER)

Ini sinopsis film Posesif (2017)
Hidup Lala jungkir balik. Bukan karena loncatan indahnya dari menara sepuluh meter, bukan pula karena ayahnya yang melatihnya dengan keras, tapi karena cinta pertamanya. Yudhis, murid baru di sekolahnya, berhasil menjebak hati Lala hanya untuknya. Di tahun terakhir SMA-nya, Lala ditarik keluar dari rutinitas lamanya. Hidupnya tak lagi melulu melihat birunya air kolam renang atau kusamnya dinding sekolah. Lala percaya cinta telah membebaskannya, sebab Yudhis selalu sigap menghadirkan pelangi asal Lala berjanji selamanya bersama. Namun perlahan Lala dan Yudhis harus menghadapi bahwa kasih mereka bisa hadirkan kegelapan. Cinta Yudhis yang awalnya tampak sederhana dan melindungi ternyata rumit dan berbahaya. Janji mereka untuk setia selamanya malah jadi jebakan. Lala kini mengambang dalam pertanyaan: apa artinya cinta? Apakah seperti loncat indah, yang bila gagal, harus ia terus coba lagi atas nama kesetiaan? Ataukah ia hanya sedang tenggelam dalam kesia-siaan? (sumber: www.21cineplex.com)
Jadi menurutku, kekurangan pertama dari film ini adalah judulnya. Judul 'Posesif' ini membuat calon penonton film (baca: aku) mengantisipasi karakter utama yang posesif. Dengan rekomendasi bahwa film ini bakal berkesan, aku menduga bahwa karakter yang posesif ini akan digali secara mendalam dari sisi psikologis. Aku sendiri suka mempelajari pengembangan karakter di suatu film, apa alasan yang menyebabkan dia posesif dan bagaimana kejadian tertentu membuatnya posesif. Tapi aku yakin sih, judul lah yang menjual film ini. Tema yang kita tangkap dari judul ini memang jarang diangkat, itulah yang membuat sebagian orang penasaran.

Baiklah, langsung masuk ke pengembangan karakter..
Sayang sekali, alur dan pengembangan karakter utama tidak sesuai ekspektasiku (mungkin ekspektasiku ketinggian haha). Karakter Yudhis yang posesif memang digambarkan secara jelas, bahkan gamblang di film ini. Sepanjang film ini kita disuguhkan perilaku posesif Yudhis pada Lala, dari yang wajar sampai keterlaluan. Sedangkan aku, mencari-cari poin yang membangun karakter posesif dari Yudhis. Ya jelas alasannya dikasih tau belakangan lah ya, bodoh benar saya.. Akhirnya, ada satu surprising scene yang membuat penonton mengangguk dan bergumam.. 'oh jadi karena ini Yudhis bersikap posesif'. Yudhis ternyata mendapat perlakuan kasar seorang ibu kepada anaknya. Sang ibu menyayangi anaknya, tetapi dia terlalu protektif dan ingin anaknya melakukan apa kata ibu. Pada scene itu juga Lala baru memahami alasan Yudhis begitu posesif terhadapnya dan menyebabkan Lala menaruh empati lebih buat kekasihnya. Lala ingin bersama Yudhis dan melindunginya dari ibunya ataupun orang lain (well.....).  Lala jadi terkesan posesif ya? Yudhis pun sadar tentang perubahan karakter pacarnya, yang dia tau sikap posesif hanya akan melukai Lala sendiri. Cerita pun diakhiri dengan Yudhis melepaskan Lala. Is that it? Nooo, I want more!

Berakhirnya film ini seakan-akan hanya meninggalkan pesan 'kalau pacarmu posesif, cari tau penyebabnya, pahami, tapi ikhlaslah ketika pacarmu merelakanmu demi kebahagiaanmu yang tidak ingin kamu terluka karena memiliki pacar posesif'. Wait, what??!! Director and writer plssss -___-

Selain scene lompat indah Lala, sepertinya aku ngga begitu terkesan dengan komponen lain di film ini seperti setting, sinematografi, atau soundtrack. Hmmm... sebenernya aku pengen bahas adegan pacaran ala anak SMA Yudhis-Lala ini. Sebagai gadis desa yang baik-baik (ceileh), beberapa adegan mereka agak mengganggu buatku sih. Mungkin this movie maker jujur menggambarkan gimana pacaran anak SMA di ibukota ya, tapi dengan mempertontonkan scene itu secara ngga langsung membuat kita semakin terbiasa dengan hal itu. Meanwhile film ini ditayangkan ngga cuma di ibukota. Sayang banget kalau para penonton 'muda' lebih menangkap adegan pacarannya dibandingkan pesan dari film ini. Why do I sound like I'm being conservative? Or I actually am?

At last, sorry to say, film ini ngga membuatku pengen nonton lagi untuk kedua kali hehe. Bahkan untuk tingkat menghibur pun, menurutku kurang. Or any of you have different opinion?

Comments

  1. Samaaa aku jg mikir ini FTV. baru berencana nonton malam ini

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts