Living in whose dream?

"Apa mimpimu, B?"
"Hmm... Nggak ada."
"Ok, kalau mimpimu tiga tahun yang lalu?"
"Hmm... Aktivis di bidang konservasi kelautan."
"Wow. Kalau aku tanya 8-10 tahun yang lalu, jawabanmu apa?"
"Hmm... Diplomat. Penerjemah novel. Stylist."
"Lalu sekarang kamu nggak punya mimpi? Satupun?"
"Apa ya.. Embriologis mungkin."
"B, embriologis itu kerjaanmu sekarang. Apa itu juga mimpimu?"
"Hmm..."

     Kebanyakan anak yang beranjak remaja lalu menuju dewasa pasti mengalami perubahan mimpi-mimpi. Kebanyakan ya. Bisa berkembang menjadi seseorang dengan pekerjaan yang lebih spesifik. Atau bisa jadi, yang spesifik menjadi lebih general. Akhirnya, nggak punya mimpi. Hal ini aku alami selama proses hidupku sampai sekarang. Dulu ketika duduk di bangku SMP aku sangat suka mata pelajaran bahasa inggris. Oleh karena itu, impianku jadi diplomat dan penerjemah novel. Sederhana. Aku suka apa, aku ingin menjadi apa. Tanpa peduli apakah saat itu aku benar-benar memiliki kemampuan diplomasi atau sejauh apa ilmu pengetahuanku tentang hubungan internasional.
     Tanpa aku sadari, proses kehidupan ini membuatku menilai seperti apa diriku sendiri. Meskipun aku lebih sering meng-underestimate diriku sih. Jadinya, aku takut untuk memiliki mimpi. Kenapa takut? Bayar juga enggak. Tapi mimpimu seharga dengan harapan yang terus berkembang dalam dirimu. Harapan itulah yang kemudian membuatku memilah apa yang 'bisa' aku impikan dan yang 'tidak bisa'. Nalarku membatasi keinginanku. Aku mencegah diriku jatuh untuk harapan yang terlalu tinggi. Kemudian aku hanya bisa bersyukur akan apa yang aku miliki sekarang tanpa mencoba untuk menjadi aku yang lebih lagi. Aku terjebak di zona nyaman.
     Saat ini aku bekerja sebagai embriologis yang nggak pernah sekalipun terlintas di pikiranku. Pekerjaan ini di luar perkiraanku. Aku kira sarjana biologi akan bekerja di lembaga penelitian, perusahaan pangan, farmasi, atau di bidang konservasi. Sejak dinyatakan lulus, yang aku pikirkan adalah mencari pekerjaan, bukan melanjutkan studiku. Sebagai anak pertama, keluarga menjadi alasanku mencari pekerjaan. Fokusku adalah mendapat pekerjaan yang kurang lebih berhubungan dengan studiku. Sekali lagi, tidak ada 'mimpi' yang kemudian membatasi posisi pekerjaan yang aku cari. Lalu datanglah lowongan pekerjaan dimana sekarang aku bekerja. Bidangnya adalah embriologi, sedangkan bidangku lebih ke biologi molekuler, Masa bodoh. Apapun akan aku coba. Dan ya.. aku diterima, di bidang yang nggak pernah terlintas di pikiranku. Bukan juga salah satu subjek favoritku. Tapi, nggak ada salahnya dicoba kan?
     Tiga bulan tentu bukan waktu yang singkat untuk belajar di tempat kerjaku. Aku harus recall materi kuliah embriologi, yang sebenarnya bahkan nggak ku coba simpan diingatanku. Aku seperti bekerja tanpa passion. Ketika seharusnya aku sudah menguasai salah satu teknik, aku masih berulangkali melakukan kesalahan. Berulangkali aku menanyakan diriku sendiri, apa karena ini bukan bidang yang ku sukai lantas aku menjadi 'bodoh'? Beruntung, aku memiliki senior yang bisa saja menemukan excuses kenapa aku belum juga menguasai teknik tersebut. Dengan penilaian bahwa diriku oportunis dan tidak punya passion di bidang apapun, aku memiliki rencaa untuk melanjutkan studiku di bidang ini. Alasannya? Aku yakin tenaga embriolog ahli pasti akan sangat dibutuhkan bangsa ini di beberapa tahun kedepan. Oportunis sekali kan? Aku bahkan tidak pernah memiliki impian ini, tapi aku melihat peluang pada peran embriolog ini.

Comments

Popular Posts