Cerpen: Permen itu Untukmu


Cerita yang masih amburadul. Maaf kan saya. Masih pemula sih.... --v
         --

         ‘I love you too’, ucap Nino tiba-tiba. Aku mendongak menatap lelaki yang sedang berjalan di sebelahku dan memastikan dia sedang berbicara padaku.
            ‘Apa?’ tanyaku sambil mengerutkan dahi. Bicara apa dia? Apa dia baru saja bilang ‘aku juga mencintaimu’? Dia bercanda? Nino hanya tersenyum simpul ke arah pertokoan di sepanjang jalan yang kami lewati. ‘Kamu ngomong apa sih?’ tanyaku lagi.
            ‘Nih’, dia menyodorkan sebuah bungkus permen kosong lalu melanjutkan,’Aku kan cuma balas apa yang kasih, Ta. Gimana sih..
            Oh. Aku melihat kalimat ‘I Love You’ di salah satu sisi bungkus permen tadi. Itu merk permen yang biasanya terdapat kalimat-kalimat seputar 'cinta' di sisi belakangnya. Permen itu yang tadi aku berikan pada Nino tanpa aku lihat tulisan di sana sebelumnya. Tentu saja aku tidak berniat untuk menyatakan cinta padanya. Niatku hanya untuk berbagi permen. ‘Ha-ha!’ aku meninju lengan lelaki itu.
            ‘Kenapa? Kirain serius? Maaf ya mbak. Kamu kan bukan tipeku!’ Nino pun tertawa. Sialan.
Cantik, putih, rambut panjang, jenius, apa lagi?’ tantangku.
Apa aja deh. Yang penting bukan si Tita,’ Nino melirik jahil ke arahku.
Awas aja. Siapa tahu minggu depan kamu akan berlutut di depanku, memohon agar aku membalas cintamu!’ kataku bersungut-sungut.
Lho jangan nyumpahi gitu dong, Ta! Hm… Tapi kayaknya sampai seluruh kutub selatan leleh juga nggak bakal..
Lihat aja nanti!’ aku menggertakkan gigiku agak keras, dan Nino malah terbahak begitu keras. Ah ya, itu hal konyol yang kami berdua tahu itu mustahil untuk terjadi.
            Kadang aku merasa diriku munafik, saat mengatakan bahwa Nino itu sahabatku, padahal aku menyimpan hasrat yang begitu besar untuk melebihi ‘itu’. Aku sebenarnya ingin membuang jauh-jauh kata ‘sahabat’ di antara kami. Namun, aku tak tahu apakah aku akan mendapatkan kata baru, seperti ‘pacar’ atau ‘kekasih’. Ataukah aku malah akan mendapatkan frasa ‘orang asing’? Seharusnya aku sudah bersyukur dengan kenyataan bahwa kami begitu dekat. Namun…
            ‘Tita!’ Nino meneriakkan namaku dari belakang. Aku menyadari bahwa diriku tadi terus berjalan tanpa sadar. Aku menengok ke arah Nino dan dia melambai ke arahku. Dia berdiri sekitar sepuluh meter di belakangku, tepat di depan restoran pasta favoritnya. Aku menghela nafas dan berjalan ke arah Nino.
            Nino memang seperti magnet untukku. Magnet yang cukup kuat, sehingga aku tak mampu untuk memperlebar jarak di antara kami. Aku selalu menghampirinya dan dia selalu berada di sana untukku. Aku tak mampu bertahan jika ada jarak sedikitpun di antara kami. Ketertarikan itu mungkin takkan lenyap, sampai satu di antara kami dilempar pergi jauh-jauh. Tetapi, jangan... Jangan sampai hal itu terjadi.
            ‘Aku kayak orang gila deh panggil-panggil namamu tapi nggak ada yang nyaut. Emang tadi lagi ngelamunin aku ya, Ta? Aduh, sampe segitunya sih kamu’, Nino mengacak-acak poniku sekilas. Kemudian dia menggenggam tanganku dan menyeretku masuk ke dalam restoran.
            Jari-jemari Nino yang menelusup di antara jemariku dan genggamannya yang kuat sering kali mengacaukan kewarasanku. Namun setiap kali itu terjadi, aku berulang kali berharap bahwa jari-jemari itu akan terus berada di sana. Menggenggamku dengan kuat sehingga aku dapat terus merasakan hangatnya telapak tangan Nino. Aku meringis memikirkan hal itu. ‘Nino, sialan lo!’ ucapku jengkel.

Comments

  1. aku bingung mau endingnya gimana hahahaha :P

    ReplyDelete
  2. jangan happy ending pokoknya hahaha *ketawajahat*

    ReplyDelete
  3. iya bener. nggak boleh happy ending! *ketularanjahat*

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts